Pahlawan Dari Tanah Pasundan Yang Dijadikan Nama Jalan Di Kota Bandung

Hallo Hallo Bandung, Ibu Kota Priangan
Sudah Lama Beta Tidak Berjumpa Dengan Kau
Sekarang Sudah Menjadi Lautan Api
Mari Bung Rebut Kembali...

Semua rakyat Indonesia pasti pernah menyanyikan sepenggal lagu heroik yang menggambarkan pertempuran sengit antara para pejuang kemerdekaan dengan para penjajah tersebut. Ya benar, lagu perjuangan tersebut berjudul Hallo Hallo Bandung, lagu yang menceritakan tentang persitiwa Bandung Lautan Api yang terjadi pada tanggal 23 Maret 1946.

Dan Kota Bandung merupakan salah satu kota pergerakan di Indonesia, dimana bapak Proklamator kita yaitu Ir. Soekarno pernah berkuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dan beliau juga pernah membacakan pembelaannya pada persidangan di Landraad yang dikemudian hari dikenal dengan istilah Indonesia Menggugat, beliau juga pernah dipenjara di kota ini tepatnya di penjara Banceuy, yang kini sudah dirobohkan dan hanya tersisa gardu jaga dan dijadikan sebagai cagar budaya.

Bung Karno panggilan dari Ir Sukarno pernah tinggal di Bandung selama 12 tahun. Di kota ini pula beliau menemukan kisah cintanya bersama Ibu Inggit Garnasih dan juga menghasilkan karya-karya sebagai arsitektur di kota Bandung. Banyak sejarah yang menghiasi kehidupan Bung Karno di Kota Bandung. Bahkan Ia sempat berujar “Ke Bandung lah aku kembali kepada cintaku yang sesungguhnya,”

Dan pada tanggal 10 November 2015, sesuai dengan aspirasi masyarakat, DPRD, dan lainnya, Pemerintah Kota Bandung akan meresmikan jalan Ir. Sukarno menggantikan jalan Cikapundung Timur. Penggunaan nama pahlawan nasional sebagai nama jalan di Kota Bandung bukan lah yang pertama dan terdapat beberapa nama pahlawan nasional yang dapat ditemui di Kota Bandung.

Berikut ini nama jalan di Kota Bandung yang menggunakan nama pahlawan asal Jawa Barat.

Mohammad Toha
Mohammad Toha
Toha dilahirkan di Jalan Banceuy, Desa Suniaraja, Kota Bandung pada tahun 1927. Ayahnya bernama Suganda dan ibunya yang berasal dari Kedunghalang, Bogor Utara, Bogor, bernama Nariah. Toha menjadi anak yatim ketika pada tahun 1929 ayahnya meninggal dunia. Ibu Nariah kemudian menikah kembali dengan Sugandi, adik ayah Toha. Namun tidak lama kemudian, keduanya bercerai dan Muhammad Toha diambil oleh kakek dan neneknya dari pihak ayah yaitu Bapak Jahiri dan Ibu Oneng. Toha mulai masuk Volk School (Sekolah Rakyat) pada usia 7 tahun hingga kelas 4. Sekolahnya terhenti ketika Perang Dunia II pecah.

Saat masa pendudukan Jepang, Toha mulai mengenal dunia militer dengan memasuki Seinendan. Sehari-hari Toha juga membantu kakeknya di Biro Sunda, kemudian bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya, Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga ia juga mampu bercakap dalam bahasa Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, Toha terpanggil untuk bergabung dengan badan perjuangan Barisan Rakjat Indonesia (BRI), yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha sendiri. BRI selanjutnya digabungkan dengan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Anwar Sutan Pamuncak menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Dalam laskar ini ia duduk sebagai Komandan Seksi I Bagian Penggempur. Menurut keterangan Ben Alamsyah, paman Toha, dan Rachmat Sulaeman, tetangga Toha dan juga Komandannya di BBRI, pemuda Toha adalah seorang pemuda yang cerdas, patuh kepada orang tua, memiliki disiplin yang kuat serta disukai oleh teman-temannya. Pada tahun 1945 itu, Toha digambarkan sebagai pemuda pemberani dengan tinggi 1,65 m, bermuka lonjong dengan pancaran mata yang tajam.

Beliau adalah seorang komandan Barisan Rakjat Indonesia, sebuah kelompok milisi pejuang yang aktif dalam masa Perang Kemerdekaan Indonesia. Dia dikenal sebagai tokoh pahlawan dalam peristiwa Bandung Lautan Api di Kota Bandung, Indonesia tanggal 24 Maret 1946. Toha meninggal dalam kebakaran dalam misi penghancuran gudang amunisi milik Tentara Sekutu bersama rekannya, Ramdan, setelah meledakkan dinamit dalam gudang amunisi tersebut.

Di Kota Bandung namanya di abadikan sebagai Jalan Moch. Toha yang terbentang mulai dari Jalan Pungkur, Tegallega, sampai dengan perbatasan Dayeuhkolot.


Dewi Sartika
Dewi Sartika
Rd. Déwi Sartika lahir di Cicalengka, Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Cineam, Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Ia diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.

Dewi Sartika lahir dari keluarga Sunda yang ternama, yaitu R. Rangga Somanegara dan R. A. Rajapermas di Cicalengka pada 4 Desember 1884. Ketika masih kanak-kanak, ia selalu bermain peran menjadi seorang guru, ketika seusai sekolah bersama teman-temannya. Setelah ayahnya meninggal, ia tinggal bersama dengan pamannya. Ia menerima pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda oleh pamannya, meskipun sebelumnya ia sudah menerima pengetahuan mengenai budaya barat. Pada tahun 1899, ia pindah ke Bandung. Dan kemudian pada tahun 1906, ia menikah dengan Raden Kanduruhan Agah Suriawinata yang merupakan guru dari Sekolah Karang Pamulang.

Pada 16 Januari 1904, ia membuat sekolah yang bernama Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910. Pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat, lalu kemudian berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun kabupaten pada tahun 1920. Pada September 1929, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi.

Ia dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaoetamaan Isteri sebagai penghargaan atas jasanya dalam memperjuangkan pendidikan. Pada 1 Desember 1966, ia diakui sebagai Pahlawan Nasional.

Di kota Bandung namanya di abadikan sebagai nama Jalan Dewi Sartika atau masyarakat Bandung lebih mengenalnya sebagai Alun-Alun Bandung atau Kebon Kalapa.


Djoeanda Kartawidjaja
Ir. H. Juanda
Ir. R. Djoeanda Kartawidjaja lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 – meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.

Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) [1].

Namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut sehingga dapat terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda.

Djuanda wafat di Jakarta 7 November 1963 karena serang jantung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H. Djuanda Kartawidjaja diangkat sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan nasional.

Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang kertas rupiah baru NKRI, pecahan Rp. 50.000,-

Ir. H. Juanda dijadikan nama jalan di Kota Bandung dan lebih dikenal sebagai Jalan Dago, dan namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah taman yaitu Taman Hutan Rakyat (THR) Ir. H. Juanda yang terletak di kawasan Dago Pakar.


Raden Eddy Martadinata
R.E. Martadinata
Laksamana TNI (Anumerta) Raden Eddy Martadinata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 29 Maret 1921 – meninggal di Riung Gunung, Jawa Barat, 6 Oktober 1966 pada umur 45 tahun), atau yang lebih dikenal dengan nama R. E. Martadinata, adalah tokoh ALRI dan pahlawan nasional Indonesia. Ia meninggal dunia akibat kecelakaan helikopter di Riung Gunung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Ia menghimpun pemuda bekas siswa Pelayaran Tinggi dan mereka berhasil merebut beberapa buah kapal milik Jepang di Pasar Ikan Jakarta. Selanjutnya mereka menguasai beberapa kantor di Tanjung Priok dan Jalan Budi Utomo Jakarta. Setelah pemerintah membentuk BKR, pemuda-pemuda pelaut bekas pelajar dan guru Sekolah Pelayaran Tinggi serta pelaut-pelaut Jawa Unko Kaisya yang dikoordinasi oleh M. Pardi, Adam, Martadinata, Surjadi Untoro, dan lain-lain, membentuk BKR Laoet Poesat yang dalam perjalanannya berubah menjadi TKR Laoet, diubah lagi menjadi TRI Laoet dan bulan Februari berganti lagi menjadi ALRI.

Namanya kini diabadikan sebagai nama jalan di kota Bandung dengan nama Jalan L. L. R. E Martadinata atau masyarakat Bandung lebih mengenalnya sebagai Jalan Riau.


Raden Otto Iskandardinata
Raden Otto Iskandardinata
Otto Iskandardinata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Ayah Otto adalah keturunan bangsawan Sunda bernama Nataatmadja. Otto adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara. Dan meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun, beliau adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia mendapat nama julukan si Jalak Harupat.

Otto menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung, kemudian melanjutkan di Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) Bandung, serta di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah. Setelah selesai bersekolah, Otto menjadi guru HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada bulan Juli 1920, Otto pindah ke Bandung dan mengajar di HIS bersubsidi serta perkumpulan Perguruan Rakyat.

Otto Iskandardinata diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Sebuah monumen perjuangan Bandung Utara di Lembang, Bandung bernama "Monumen Pasir Pahlawan" didirikan untuk mengabadikan perjuangannya. Nama Otto Iskandardinata juga diabadikan sebagai nama jalan di kota Bandung dan lebih dikenal sebagai Jalan Otista atau Pasar Baru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Batas Wilayah Kecamatan, Kelurahan Dan Kode Pos Di Kota Bandung

Sejarah Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda

Monumen Ir. H. Djuanda